Jumat, 11 Juni 2010

Akhirnya......

“Maafkan aku yang harus menyakitimu, aku tak berniat menyakitimu tapi dia terlanjur meluapkan semuanya padamu. Aku tak tahu kenapa semua ini terjadi, kenapa semua ini harus berakhir bencana. Aku tidak sanggup menatap dunia tanpa dirimu.”
Bayangan wajah tampan itu kembali membayang di pelupuk matanya. Seakan-akan dia tak mampu lagi untuk bertahan hidup. Air matanya berlinang lalu bercucuran bagaikan air hujan yang akan membanjiri tempat itu.
Tetapi semua itu harus dijalaninya penuh kekuatan walau sesungguhnya dia tak punya kekuatan lagi untuk menghadapi semua itu.
*****
Subuh yang dingin tak menyurutkan niat Firsyah untuk lari bersama teman-temanya. Waktu menunjukkan pukul 05.12 WIB, dengan semangat pejuang Firsyah pamit kepada ibunya untuk pergi bersama teman-temanya.
“Ayo, buruan!” ajak temanya yang sedari tadi menunggu.
“Tunggu sebentar”, sahutmya dari dalam rumah.
Matahari yang perlahan muncul membuat mereka terlena, betapa besarnya kuasa yang maha esa. Sesekali mata mereka menengadah, memandang ke arah langit yang terlihat masih hitam. Langkah mereka semakin pasti menuju kesebuah tempat yang cukup jauh. Tapi semua itu tak menyurutkan langkah demi tujuan yang telah direncanakan. Sambil berlari-lari kecil mereka terus menelusuri jalanan yang terlihat masih sepi. Di perjalanan suasana cukup menarik dengan adanya lelucon yang diungkapkan oleh salah seorang diantara mereka. Canda tawa terus terdengar seakan melebihi suara ayam yang berkokok pagi itu.
“Kita akan kemana?” ujar firsyah.
“Kita akan ke sebuah tempat yang akan membuat kamu melayang”, balas Dino yang merupakan satu-satunya cowok bersama mereka.
“Iya, kamu pasti akan melayang,” sahut Putri dan Mayang yang merupakan teman ceweknya.
“Oh, baik kalau begitu aku hanya mengikuti langkah kalian sajalah,” ucap Firsyah pada teman-temanya.
“ Tentu,” dengan kompak jawab teman-temanya.
Tempat itu terlihat sepi, tak ada apa-apa disana. Pohon yang rindang meneteskan embun pagi yang sangat dingin. Suasana berubah menjadi hening, serentak kaki-kaki itu berhenti melangkah sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya.Tak satupun yang berani bergerak seakan-akan mereka membeku dalam batu es yang sangat keras. Di depan sebuah Sekolah Dasar mereka berdiri dengan bibir yang membeku.
“Hai…?” sapa seorang cowok dari belakang mereka.
“Hai juga,” balas mereka dengan nada kaget.
Sapaan itu memecah suasana yang sedari tadi hening, seaakan es yang beku telah mencair oleh pancaran sinar ultraviolet matahari.
“Kalian sudah lama,” lanjut si cowok sambil tersenyum.
“Belum, kami baru lima menit di tempat ini,” balas Dino.
“Syukurlah, berarti aku tidak terlambat.”
Sesaat mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Firsyah kelihatan bingung dengan semua itu. Darahnya berdesir kencang menatap cowok yang baru saja menghampiri mereka. Tak satupun apa yang dia temui saat itu bukanlah apa yang dia pikirkan sedari tadi. Pertanyaan demi pertanyaan terus membayang-bayanginya. Lalu dia berusaha menerka apa yang sedang dia hadapi, tapi kemampuanya sudah tak mampu lagi. Membuat dia harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat. Dengan sedikit tergesa-gesa Firsyah menarik tangan Mayang yang sedari tadi berdiri disampingnya, berlagak seperti pengawal.
“Ini ada apa?” Tanya Firsyah singkat.
“Kamu tenang sajalah, semuanya pasti bikin kamu melayang.” Kata-kata itu terlontar dari mulut Mayang.
“Tapi kenapa kalian tidak membicarakan ini sebelumnya padaku.” Kata-kata itu diucapkan dengan amarah.
“Iya, kami salah tetapi niat kami baik kok .” balas Mayang.
“Tapi…”
Kalimat yang ingin disampaikan Firsyah belum terucap karena Dino yang memanggilnya dan membuat mereka untuk mengakhiri pertengkaran itu. Dengan langkah gontai Firsyah menghampiri Dino yang sedari tadi berbincang-bincang dengan seorang cowok yang akrab dipanggil Gilang itu. Jantungnya berdebar kencang seakan ingin meruntuhkan bangunan sekelilingnya. Tapi dengan santai dia berusaha menutupi semua itu.
“Hai…” sapaan itu ditujukan pada Firsyah.
“Hai juga,” balas Firsyah.
“Pagi ini indah sekali,” Gilang berusaha mencairkan suasana.
“Iya,” balas firsyah singkat.
Tanpa mereka sadari ternyata yang berada di tempat itu hanya mereka berdua. Teman-temanya sudah menuju ke sebuah warung yang baru saja dibuka oleh penjualnya. Keduanya melangkah menuju kesebuah pohon yang terletak di belakang bagian sekolah tersebut.
Sesekali mata keduanya menengadah, memandang ke arah langit yang berada di atas mereka yang masih tampak gelap. Lalu sesekali keduanya beradu pandang. Tetapi kemudian Firsyah segera mengalihkan pandanganya ke tempat lain. Seakan berusaha menghindari adu pandang dengan Gilang. Meski begitu, beberapa kali pandangan keduanya saling beradu. Gilang berusaha tersenyum untuk mencairkan suasana yang terasa kaku. Sehingga Firsyah pun berusaha membalasnya.
Raut wajah yang malu-malu terlihat dari keduanya, menghiasi wajah yang masih polos. Tapi hal itu tak bisa mereka pungkiri bahwa cinta telah menghampiri keduanya. Hal itu memaksa mereka untuk bertindak dewasa walaupu saat ini kedunya duduk di bangku kelas satu SMP.
“Firs, ada yang ingin aku bicarakan,” Gilang pun memberanikan diri.
“Tentang apa ya,” balas Firsyah.
“Tentang kita berdua,” nada gugup terlontar dari mulut Gilang.
“Memangnya ada apa dengan kita?” ucapan itu mulai terdengar sayu.
Pertanyaan itu membuat nadi Gilang berhenti mengalir, seakan-akan semua yang berada di sekitarnya menatap dia penuh dengan curiga. Hal itu tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada diri Firsyah. Dia menerka-nerka apa yang akan diucapkan oleh Gilang padanya. Dirinya seakan melayang di angkasa dan di kelilingi oleh burung merpati.
“Jujur aku mencintai kamu.”
“Apa?”
Semua itu membuat Gilang terdiam dan hampir putus asa. Badannya terasa panas dingin dan tak karuan. Pikirannya mulai melayang kemana-mana mendengar jawaban dari Firsyah. Semua itu membuat Firsyah bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Dia mencoba berpikir jernih untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh cowok yang juga dia sukai.
“Iya, aku mencintai kamu.”
“Tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi aku juga mencintai kamu,”
“Benarkah?”
“Tidak.”
“Firs aku serius,”
“Memangnya aku lagi becanda.”
“Jadi?”
“Jadi aku juga mencintai kamu.”
Mendengar kata-kata itu Gilang serasa ingin berteriak sambil meloncat karena apa yang dia inginkan telah tercapai. Begitu pula dengan Firsyah yang berpura-pura tidak peduli kepada Gilang, padahal dia juga mencintai laki-laki itu.
“Yes, kita berhasil,” suara itu terdengar nyaring di belakang mereka. Saat keduanya berpaling terlihatlah teman-temannya yang sedang bersorak gembira melihat semua itu.
Hari itu adalah hari yang berkesan bagi mereka, semuanya dipadukan oleh rasa bahagiah yang sangat hebat. Tiada kata yang mampu menggambarkan rasa bahagia mereka. Dua sejoli telah bersatu menjalani hidup dengan cinta monyet. Walaupun di tempat yang kurang romantis tapi mereka berdua tetap bisa mengukir sejarah cinta monyetnya.
*****
Hari demi hari terus mereka jalani dengan bunga-bunga disekelilingnya. Saat berada di sekolah keduanya terlihat malu-malu dan saling tak mau memperdulikan satu dengan yang lainya. Walaupun demikian rasa kasih sayang tetap tumbuh diantara mereka. Keduanya saling menebar senyum saat bertemu walau tak sempat untuk memadu rasa dalam waktu yang lama. Mungkin hal itu terjadi karena hal yang disebut cinta monyet.
Hari ini mentari bersinar dengan teriknya menyinari permukaan bumi yang semakin panas. Semua wajah pelajar terlihat kusut saat menghadapi matematika pada siang hari. Walaupun keduanya berada pada tempat yang bebeda tetapi seakan-akan hati mereka selalu menyatu.
“Teng…teng…teng…”
Suara itu membuat semua pelajar bersorak, dengan semangat 45 mereka bangkit dari rasa bosan yang sedari tadi bersarang dalam dirinya. Begitupun dengan Firsyah dan Gilang yang sedari tadi hanya kebosanan yang terpancar dari diri mereka.
Langkah Gilang gontai saat menelusuri koridor di sekolah itu. Sekolah mulai terlihat sepi tapi entah apa yang membuat Gilang masih bertahan di tempat itu. Pikirannya melayang menembus langit biru, tak tahu harus berbuat apa. Lalu saat dia sampai di samping sebuah kelas dia tersandar lesu.
“Hei, bocah ingusan berani sekali kamu mendekati adikku.” Suara itu terdengar lantang dari belakangnya. Lalu dia berpaling dan mendapati wajah yang cukup diseganinya. Wajah itu tak sendirian tapi diikuti oleh beberapa wajah lainya yang merupakan kakak kelasnya.
“Maksudnya apa nhe?” Dengan firasat yang kurang baik dia memberanikan diri untuk bertatapan dengan wajah-wajah tersebut. Tapi semua itu tak berlangsung lama ketaka wajah-wajah itu mulai mendekatinya.
“Ala...jangan pura-pura bodohlah,”
“Tapi…” Belum sempat Gilang menyelesaikan ucapannya sebuah pukulan yang cukup keras mendarat di pipi kirinya. Lalu diikuti oleh pukulan-pukulan lain yang mendarat di wajahnya, yang membuat memar sebagian wajahnya. Hal itu membuat dia ingin membalasnya tapi dia masih berusaha menahan emosinya.
“Apa? Kamu ingin memlawan.” Tantang wajah-wajah itu.
Saat Gilang ingin membalasnya, serombongan anak menghampiri dan langsung berusaha melerai mereka. Seketika itu terlihat sosok cewek yang menghampiri lokasi itu.
“Gilang…”
“Ayo pulang dan jangan lagi berhubungan dengan dia.”
“Tapi…”
“Tanpa tapi, dia bukan yang terbaik untuk kamu.”
Tanpa menghiraukan yang lainnya, Firsyah diseret dan meninggalkan tempat itu. Lalu pelajar yang lainya pun mulai membubarkan diri.
*****